Benarkah Nikah di Bulan Muharram Sial?
Benarkah Nikah di Bulan Muharram Sial?
Bulan Muharram Bulan Sial Untuk Nikah?
Bagi sebagian pihak bulan Syuro mempunyai nilai tersendiri. Kalau bagi umat Islam bulan Muharram mengandung hari yang disunnahkan untuk melakukan puasa sunnah. Di hari itu pula Nabi Musa diselamatkan dari kejaran Fir’aun. Sementara itu kaum penganut agama Syi’ah Rafidhah menganggap Muharram sebagai bulan kesedihan dan kesialan, demikian pula sebagian orang di Indonesia dalam memandang bulan Suro.
Di Indonesia ada sebuah pantangan yang berlaku khusus di bulan Syuro. Pernikahan tidak boleh dilakukan pada bulan ini. Bila nekat maka akan terjadi bencana dan malapetaka atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal-usul keyakinan ini. Sebagian analis mengemukakan penelitiannya bahwa ini tidak lebih dari sekadar politik pihak keraton/kerajaan waktu itu.
Di bulan Suro biasanya keraton punya gawe (Kerjaan-AH) berbagai macam ritual. Ritual-ritual yang dilakukan hampir seluruhnya sarat dengan noda-noda kesyirikan. Agar acara keraton dihadiri rakyatnya maka dimunculkan keyakinan bahwa selama bulan itu rakyat tidak boleh melangsungkan hajatan. Tujuannya agar rakyat berbondong-bondong menyukseskan acara keraton. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Lepas dari asal usul keyakinan nyeleneh tersebut, kekritisan umat Islam harus diasah dengan kekuatan tauhid. Bagaimana mungkin sebuah waktu, baik hari atau bulan maupun tahun mampu mendatangkan bencana atau memberikan keberuntungan. Ternyata keyakinan salah seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di tanah Arab pun ada keyakinan bulan sial untuk sebuah pernikahan. Bedanya kalau di Indonesia berlaku di bulan Suro/Muharram di tanah Arab berlakunya pada bulan Shafar.
Setan memang akan berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan manusia, dengan halus maupun kasar. Bagi sebagian orang mungkin berdalih toh keyakinan itu demi kebaikan dan keselamatan suami istri. Meski seakan-akan menawarkan kebaikan, tetapi sambil menyuntikkan racun mematikan. Kebaikan yang ditawarkan adalah semu, sementara racun syirik yang disuntikkan adalah kenyataan tak terbantahkan. Akankah seorang Muslim berusaha mengayuh keselamatan yang dibangun di atas angan-angan dengan merusak rasa tauhid?
Berikut adalah fatwa dari sebagian ulama tentang masalah bulan sial dan kesialan yang masih dipegangi oleh sebagian orang.
Pertanyaan:
Pada hari kesepuluh Muharam, sebagian orang memperbanyak makanan untuk keluarganya. Para khatib/penceramah pun menjelaskan keutamaan-keutamaannya dari sisi diniyah dan duniawiyah serta kedudukannya. Sebagian orang menyatakan mendapatkan rasa keberkahan pada harta.
Jawaban:
Yang disyariatkan ketika itu adalah berpuasa sunnah, yaitu pada hari kesepuluh dan hari kesembilan bulan Muharam atau (hari kesepuluh dan hari) kesebelas ( Bisa juga hari lain-SI.HR.Muslim). Jika para khatib/penceramah dan para guru menganjurkan dan menjelaskan kepada orang-orang keutamaan puasa tersebut, maka itu suatu kebaikan. Adapun memperbanyak makanan untuk keluarga pada hari itu dengan keyakinan bahwa hal itu disyariatkan dan sebagai keutamaan baginya, maka bid‘ah (tidak ada asalnya). Hadits-hadits yang menerangkan keutamaan memperbanyak makanan untuk keluarga pada waktu itu adalah (hadits-hadits yang) tidak shahih.
Pertanyaan:
Kita sering mendengar kepercayaan-kepercayaan (di masyarakat) bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melangsungkan pernikahan, khitan atau semisalnya (karena dianggap bulan sial). Kami berharap Syaikh sekalian dapat menjelaskannya kepada kami menurut syariat Islam. Semoga Allah senantiasa menjaga Syaikh sekalian.
Jawaban:
Apa yang disebutkan penanya tentang larangan/pantangan melangsungkan pernikahan atau khitan dan semisalnya di bulan Shafar adalah salah satu jenis/bentuk tasya-um (merasa sial) 1 dengan bulan itu. Ber-tasya-um dengan bulan atau hari atau burung atau hewan lainnya tidak dibolehkan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Tidak ada ‘adwa (wabah)2, tidak ada thiyarah3, tidak ada burung hantu4, dan tidak ada shafar5.”6
Ber-tasya-um dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah yang terlarang. Ia termasuk perbuatan yang biasa dilakukan orang-orang Jahiliyah dahulu dan telah dibatalkan oleh Islam.
Wabillahit taufiq. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad, dan kepada keluarga dan para sahabatnya.
Fatwa dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’; Ketua: Abdul-Aziz bin ‘Abdullah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur-Razzaq Afifi; Anggota: ‘Abdullah bin Ghadiyyan7
Catatan Kaki:
- Merasa pesimis, meramalkan akan mendapatkan kesialan, bencana dan kemalangan dengan sesuatu yang tidak berdasar.
- Maksud tidak ada ‘adwa (wabah) bukan menolak keberadaan wabah, akan tetapi menolak keyakinan bahwa wabah itu berpindah-pindah secara sendirinya. Yang benar dalam masalah wabah ini, bahwa penyakit yang menjangkit pada orang, hewan atau tumbuhan yang kedua, ketiga dan seterusnya di daerah epidemi keberadaannya sama seperti ketika Allah menjangkitkannya kepada orang yang pertama, langsung, tanpa melalui penularan, yang kesemuanya dengan kehendak Allah. Karena jika Allah berkehendak, sekalipun orang, hewan atau tumbuhan itu berada di tengah-tengah daerah epidemi dia tidak akan terjangkiti. Hal ini menunjukan bukan penyakit itulah yang muncul/menyebar secara sendirinya, tetapi Allah-lah yang mengadakannya.
- Thiyarah adalah istilah yang diambil dari kata thairah yang dalam bahasa Arab berarti burung. Maksudnya, menerbangkan seekor burung apabila akan melakukan sesuatu atau ketika akan mengadakan perjalanan. Hal ini dilakukan oleh orang-orang Arab Jahiliyah untuk mengetahui apakah dia akan tetap melakukan rencananya atau tidak. Jika burung yang diterbangkan itu terbang berbelok ke kanan, dia berkeyakinan bahwa akan mendapatkan keberuntungan, maka dilakukannyalah apa yang menjadi rencananya. Sebaliknya, jika burung itu berbelok ke arah kiri, diyakini bahwa akan menemui kesialan, maka dibatalkanlah rencananya. Keyakinan inilah yang ditiadakan Islam, bahwa keberuntungan dan kesialan semuanya hanyalah datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan kehendak-Nya.
- Hamah berarti burung hantu (Bukan Zubair si burubg Hantu -sahabat). Maksud penolakan disini bukan menolak keberadaan hewan tersebut, akan tetapi menolak keyakinan salah orang Arab Jahiliyah ketika itu bahwa apabila burung itu hinggap di salah satu rumah, maka penghuni rumah tersebut meyakini akan ada musibah atau kematian terhadap dirinya atau karib kerabatnya. Atau keyakinan salah lainnya bahwa burung itu adalah penjelmaan dari ruh orang yang telah mati. Keyakinan khurafat jahiliyah Arab ini pun tersebar di tengah masyarakat Indonesia sampai saat ini; padahal Islam masuk ke Indonesia berabad yang silam.
- Shafar di sini memiliki dua makna. Pertama adalah hewan yang hidup di dalam perut yang oleh orang Arab jahiliyah dahulu diyakini dapat membunuh. Kedua adalah nama bulan yang diyakini sebagai bulan sial. Nabi menolak hal ini karena di dalam Islam keberuntungan dan kesialan hanyalah datang dari Allah.
- Shahih al-Bukhari VII/17, Shahih Muslim XIV/213, Musnad Ahmad I/174, dan Sunan at-Tirmidzi IV/161.
- Fatawa li al-Lajnah ad-Daimah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta’ I/658 dan III/77-78.
thanks om infonya, bermanfaat sekali
ReplyDeletesouvenir pernikahan murah