NIKAH BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM ????....
NIKAH BEDA
AGAMA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM ????....
A. Nikah
Beda Agama Menurut Pandanagan Islam
Di dalam Agama Islam terdapat
beberapa masalah-masalah yang telah sah keberadaan hukumnya. Dalil-dalil yang
berkenaan dengan hukumnya pun qath’I atau pasti. Sehingga para ulama atau
mujtahid telah sepakat mengenai status hukumnya dan tidak perlu lagi perdebatan
perbedaan penafsiran di dalamnya, seperti hukum zina, mabuk, judi, menikahi
saudara sendiri. Masalah-masalah seperti ini sudah jelas agama Islam
mengharamkan perbuatan tersebut.
Selain masalah-masalah yang tidak
ada perdebatan mengenai status hukumnya, di dalam Islam juga terdapat
masalah-masalah yang belum mendapat kesepakatan. Para ulama masih berbeda
pendapat karena di dalam Al-Quran dan Hadist tidak ada keterangan yang cukup
jelas tentang status hukumnya. Masalah-masalah yang diperselisihkan dalam hukum
Islam disebut masalah Khilafiyah.
Pernikahan beda agama merupakan
masalah Khilafiyah dalam Agama Islam. Para ulama masih mempersoalkan
kebolehan nikah beda agama. Apakah nikah beda agama dihalalkan menurut syariat
Islam atau diharamkan ? Hal ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang
menjelaskan pernikahan beda agama masih memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam.
1. Pandangan yang tidak membolehkan
Beberapa ulama sepakat pernikahan beda agama terlarang. Keterangan dalam Surat
Al-Baqarah ayat 221 menjadi landasan utama para mujtahid perihal terlarangnya
pernikahan beda agama.
“ Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mu’min lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan
janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari pada orang
musyrik, walaupun dia menarik hati. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya
kamu mengambil pelajaran “
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 ini merupakan dalil-dalil yang jelas melarang
orang islam, baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah beda Non Islam,
sebelum mereka masuk Islam. Selain dalam surat Al-Baqarah ayat 221,
kejalasannya juga terdapat dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang berbunyi
“… Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu meminta mahar
yang telah kau berikan dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah ketetapan-Nya diantara kamu, dan Allah maha mengetahui lagi
maha bijaksana”
Dalam perintah surat ini, Allah memerintahkan untuk memutuskan hubungan
perkawinan yang telah terjadi dengan orang non Islam. Adapun bagi mereka yang
belum melangsungkan perkawinan dilarang melangsungkan perkawinan dengan
oramg-orang musyrik. Disebutkan bahwa perkawinan yang telah terlanjur
berlangsung dibatasi hanya sampai tahun ke 6 hijriah.
2. Pandangan yang membolehkan
Sudah
dijelaskan sebelumnya, persoalan nikah beda agama menjadi sebuah masalah khilafiyah
(kontroversi) di kalangan umat Islam. Alasan para ulama yang membolehkan nikah
beda agama, karena nikah beda agama secara doktrinal tidak dilarang oleh Allah
SWT. Keterangan dalam surat Al-Maidah ayat 5 merupakan landasan yang
menjelaskan kehalalan nikah beda agama.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal baginya. Dan dihalalkan bagimu mengawini
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara kamu dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu.
Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya dan tidak
bermaksud menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
tidak menerima hukum Islam, maka hapuslah amalannya, dan di akhirat dia
termasuk orang yang merugi”
Bahkan sebagai fakta sosial perkawinan beda agama sudah ada sejak zaman nabi
Muhammad saw. Nabi Muhammad saw pun pernah menikah dengan perempuan non Islam,
begitu pula banyak para sahabat nabi dan tabi’in yang melakukan hal serupa.
Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita keturunan Yahudi dari suku
Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari Gubernur di Mesir bernama
Maria Al- Qibtiyah.
B. Nikah Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974
Dalam negara Indonesia sebagai
negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur luhur
tetapi juga terdapat unsur batin.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan
ditetapkan rumusan pengertian perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam pasal 2 (ayat 1)
ditetapkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan
baha tidak ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan
kepercayaannya, sebab untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan
pada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Lantas bagaimana apabila
kedua calon suami isteri menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan
agamanya masing-masing ?
Dengan tidak adanya ketentuan
tentang perkawinan beda agama di dalam UU Perkawinan, maka sangat sulit untuk
melakukan perkawinan beda agama di Indonesia karena tidak diatur dan
lembaga-lembaga yang mengurusi administrasi perkawinan pun dibedakan, untuk
perkawinan agama Islam lembaga yang bertugas melakukan pencatatan adalah Pencatatan
Nikah, Talak, dan Rujuk yang ada di KUA, sedang untuk perkawinan non Islam
dicatat oleh Lembaga Catatan Sipil (LCS). Orang Islam yang ingin menikah tudak
dapat dicatat oleh LCS begitu pun sebaliknya orang non Islam yang ingin menikah
juga tidak dapat dicatat oleh Lembaga PNRT. Dan sesuai dengan Keputusan
Presiden No. 12 tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan pembinaan
penyelenggaraan catatan sipil, telah meniadakan tugas penyelenggaraan
perkawinan yang merupakan kewenangan Kantor Catatan Sipil.9
Jadi semakin menipiskan peluang untuk melakukan perkawinan beda agama, karena
secara hukum tidak ada lembaga yang dapat mencatat perkawinan mereka.
Tetapi kita juga tidak dapat
menghindari masalah tersebut karena negara kita sangat sangat majemuk dan
terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama ,dan budaya. Pada perkawinan beda
agama semua dapat teratasi apabila ada salah satu dari calon suami isteri yang
mengalah untuk mengikuti agama suami atau isteri. Dengan cara begitu perkawinan
akan melibatkan 1 agama saja, sehingga memudahkan untuk melangsungkan
perkawinan. Atau dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama
suami atau isteri, tetapi cara ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat
karena dianggap hanya tunduk pada saat acara perkawinan saja, setelah itu
mereka kembali ke agama masing-masing. Ini sama saja dengan melecehkan agama,
karena hanya bersifat sementara. (ft)
Mohon maaf hanya meluruskan saja,,
ReplyDeleteBerdasarkan hadis di atas, satu-satunya bentuk pernikahan yang pernah dipraktikkan pada zaman Jahiliah, dan dinyatakan legal adalah pernikahan yang ada saat ini.
Bentuk pernikahan lainnya telah dibatalkan oleh Islam. Karena itu, banyak Sahabat Nabi, termasuk Rasulullah saw. sendiri, ketika menikah dengan istri mereka sebelum Islam, maka ketika Islam datang, mereka tidak mengulangi akad pernikahan mereka. Kondisi ini juga terjadi pada pernikahan Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan Zainab putri Rasulullah saw.
Ayat Madaniyah yang diturunkan setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah. Demikian juga ayat berikut: (QS al-Maidah [5]: 5).
Kedua ayat ini merupakan ayat Madaniyah. QS al-Baqarah [2]: 221 menyatakan keharaman pria muslim menikahi wanita musyrik, juga wanita muslimah menikah dengan pria musyrik. Dengan turunnya ayat ini, apa yang belum diatur sebelumnya, termasuk kasus pernikahan Zainab dengan Abu al-‘Ash, jelas tidak berlaku. Karena itu riwayat yang menyatakan, bahwa Zainab dikembalikan kepada Abu al-‘Ash tanpa akad baru bisa dianggap bertentangan dengan ayat ini. Dengan begitu, kalaulah sahih, maka secara dirayah harus ditolak.
Adapun QS al-Maidah [5]: 5, yang menyatakan kebolehan perempuan Ahli Kitab dinikahi oleh pria Muslim, tetapi tidak sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk melegalkan kasus “pernikahan Abu al-‘Ash dengan Zainab” setelah turunnya QS 2: 221. Pasalnya, posisi QS al-Maidah [5]: 5 ini men-takhshis QS al-Baqarah [02]: 221. Dengan demikian keharaman menikah dengan orang musyrik hanya berlaku untuk orang musyrik, bukan untuk Ahli Kitab, dengan ketentuan yang telah diatur dalam QS 5: 5, antara lain: harus memenuhi kriteria muhshanat (menjaga kesucian), bukan diajak berzina (ghayra musafihat) dan menjadi simpanan (wa la muttakhidzat akhd[an]).
Mengenai diamnya Nabi saw. terhadap pernikahan Abu al-‘Ash dan Zainab saat di Makkah, juga tidak bisa dijadikan dalil, bahwa status pernikahan seperti sah hingga sekarang. Diamnya Nabi saw. memang merupakan bagian dari sunnah. Namun, peristiwa ini terjadi sebelum QS 2: 221 dan QS 5: 5 diturunkan. Setelah kedua ayat ini diturunkan, hukum tersebut telah dihapus. Ini dikuatkan dengan riwayat yang menyatakan, bahwa mereka dinikahkan ulang oleh Nabi dengan akad dan mahar baru. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Kedua ayat ini merupakan ayat Madaniyah. QS al-Baqarah [2]: 221 Menyatakan Keharaman pria muslim menikahi wanita musyrik, juga wanita muslimah menikah dengan pria musyrik.
Dengan turunnya ayat ini, apa yang belum diatur sebelumnya, termasuk kasus pernikahan Zainab dengan Abu al-‘Ash, jelas tidak berlaku. Karena itu riwayat yang menyatakan, bahwa Zainab dikembalikan kepada Abu al-‘Ash tanpa akad baru bisa dianggap bertentangan dengan ayat ini. Dengan begitu, kalaulah sahih, maka secara dirayah harus ditolak.
Adapun QS al-Maidah [5]: 5, yang menyatakan kebolehan perempuan Ahli Kitab dinikahi oleh pria Muslim, tetapi tidak sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk melegalkan kasus “Pernikahan Abu al-‘Ash dengan Zainab” setelah turunnya QS 2: 221. Pasalnya, posisi QS al-Maidah [5]: 5 ini men-takhshis QS al-Baqarah [02]: 221. Dengan demikian keharaman menikah dengan orang musyrik hanya berlaku untuk orang musyrik, bukan untuk Ahli Kitab, dengan ketentuan yang telah diatur dalam QS 5: 5, antara lain: harus memenuhi kriteria muhshanat (menjaga kesucian), bukan diajak berzina (ghayra musafihat) dan menjadi simpanan (wa la muttakhidzat akhd[an]).
moce sjare gan , menambah wawasan
ReplyDeletesouvenir pernikahan murah